FIP UNP

FIP UNP
SILVIA HESTIWARDANI, ALDO RAHMAD RAFELY, AMILIT DIATUL IKMA, MERI ANDANI, MAINNAH & RIDO RICARDO

Selasa, 05 Mei 2015

Teknik 3M



Menurut Martha Syaflina (2012.online) dalam memberikan konsultasi, konselor haruslah mengenal teknik konsultasi dan berkomunikasi dengan si klien agar kliennya bisa mengerti dan mau menerima masukan dan juga puas dengan pelayanan si konselor. Namun, pada hakikatnya, bukanlah konselor yang akan memecahkan masalah klien itu, tapi klien itu sendiri, konselor ini hanya sebagai pengantara terpecahkannya masalah si klien.
Ada tiga teknik yang pernah dipakai oleh para konselor untuk bisa membantu klien memecahkan masalahnya, tapi sebetulnya bukan membantu tapi menjadi perantara bagi klien karena mereka diliputi perasaan ragu. Teknik ini dikenal dengan Teknik 3M, yaitu: Mendengarkan,Memahami dan Merespon.
M.1     MENDENGARKAN
Dalam proses mendengar, kita hanya menangkap sebagian dari informasi yang dibicarakan atau didengar. Kita juga tidak bisa untuk menangkap secara pasti apa yang sedang diperdengarkan. Seakan-akan kita hanya mendengar seperti angin lalu saja. Biasanya orang yang kebiasaan hanya mendengar, berita yang disampaikannya kepada orang lain bersifat isu atau berita yang kurang jelas.
Hal ini sangat harus dihindari oleh para konselor, karena konselor haruslah mendengar dengan penuh apa yang sebenarnya dibicarakan oleh klien sehingga konselor bisa memberikan perantara untuk memecahkan masalah klien tersebut. Kalau konselor hanya mendengar saja, itu tidak kurang lebih dari mencemooh pembicaraan klien, sehingga klien tidak mau lagi curhat dan konsultasi dengan kita. Kita hanya dianggap sebagai orang yang membosankan (Martha Syaflina.2012.online).
Efective listening
Dengan kemampuan EL konselor, klien dapat mengekpresikan apa yang harus diekspreskannya baik melalui kata, perasaan dan tingkah laku.EL bukan sikap diam sambil memikirkan advis yang akan diberikan.
EL = pemakaian sensitivitas  untuk menangkap :
a.       Kata-kata yang diucapkan klien
b.      Perasaan dibalik kata-kata klien
c.       Ekspressi wajah dan tingkah laku klien
d.      EL = diciplin listening , karena EL tidak hanya melibatkan sikap mendengarkan
e.       Tetapi juga kesadaran dan sensitivitas Ko terhadap sikapnya sendiri yakni sikap mendorong Ki untuk mendorong klien mengekspresikan kata-kata dan perasaan secara wajar
f.       Kemampuan untuk menangkap inti kata-kata yang diucapkan Ki secara obyektif
g.      Kemampunan Ko menahan diri dari dorongan untuk berkata-kata lebih banyak atau sebelum waktunya.
M.2     MEMAHAMI
Dengan berusaha memahami klien, kita juga mendapatkan pelajaran dan pengalaman dari diri mereka. Memahami dengan sepenuh hati dan mengambil kesimpulan dari pembicaraan klien itu penting agar kita tidak salah dalam mengarahkan klien tersebut.
Menurut Yosita Maulina (2012.online)kemampuan dalam memahami harus didukung oleh :

1.    Empati : sikap positif Ko terhadap Ki, yang dieks presikan melalui kesediaan untuk menempatkan diri pada tempat Ki, merasakan apa yang dirasakan Ki dan mengerti dengan pengertian Ki.
Faktor penghambat empati :

a.       Pikiran yang terikat pada teori/teknik konseling  yang akan dipakai  
b.      Terlalu cepat memikirkan pemecahan persoalan Ki
c.       Kecemasan yang mematikan perasaan Ko dan Ki
2.    Sikap menerima ( acceptance) Sikap menerima adalah kesediaan Ko untuk menerima keberadaan Ki sebagaimana adanya.

a.    Non judgmental
b.    Menempatkan hal-hal negatif pada konteks   yang tepat
c.    Bukan sikap membenarkan atau mentralisir
M.3      MERESPON
Menurut Martha Syaflina (2012.online) merespon itu artinya memberikan sinyal kepada klien bahwa kita telah serius dalam mendengarkan pembicaraan dan keluhannya. Ada beberapa kata untuk merespon, yaitu:
a.    Hmm…
b.    Lalu…
c.    Selanjutnya bagaimana?
d.    Terus?
e.    (banyak lagi cara merespon dari berbagai konselor)

Merespon juga harus membuat klien percaya dengan kita bahwa kita hanya tidak mendengarkan dia tapi memang serius dalam mendengarkannya. Kita juga bisa merespon dengan isyarat mata dan tangan dengan cara digerakkan matanya atau dikedipkan. Dengan gerakan tangan, membuat dia lebih bersemangat untuk bercerita sehingga kita bisa mencari akar masalahnya.
Disamping itu,Yosita Maulina (2012.online) menambahkan ciri-ciri merespon yang tepat dan positif,yaitu :
a.         Menjadikan klien senang sehingga dapat  mendorongnya untuk berbicara lebih banyak tentang masalahnya & dapat membantu klien mendalami perasaan dan fikiran yang berhubungan dengan masalahnya
b.        Dapat mengarahkan klien untuk mengubah sikap, pandangan, kebiasaan dan tingkah laku yang menyebabkan timbulnya masalah
c.         Bahasanya jelas, sederhana dan padat
d.        Tidak membuat klien tersinggung atau mempertahankan diri


KEPUSTAKAAN
Martha Syaflina.2012.Teknik 3M.Dalam http://marthasyaf lina.wordpress .com/2012/01 /19 /tek nik-3m -2/ Diakses tanggal 2 Maret 2014 pukul 20.15 WIB.
Yosita Maulina.2012.Teknik 3M.Dalam http://yositamaulina.blogspot.com/2012/03/teknik-3m.html Diakses tanggal 2 Maret 2014 pukul 20.00 WIB.

TEKNIK-TEKNIK HUBUNGAN KONSELING PERORANGAN



TEKNIK-TEKNIK HUBUNGAN KONSELING PERORANGAN
A.    Menerima klien

Kesediaan klien dalam proses konseling akan tergantung pada seberapa baik konselor dapat menerima klien sebagaimana adanya secara positif. Konselor dapat menerima klien secara positif, dengan sikap ramah tamah, hangat dan penuh perhatian akan memberikan dampak positif kepada klien. Klien akan merasa bahwa dia benar-benar diterima, direhatikan dan merasa bahwa konselor benar-benar siap membantunya. Penggunaan teknik menerima klien secara tepat akan memepengaruhi hubungan konseling selanjutnya. Klien yang  diterima sebagimana  adanya akan mau menjalankan proses dan hasil konseling secara sukarela dan sungguh-sungguh. Hal ini tentu akan membantu mempercepat tercapainya tujuan konseling yang diharapkan.
M. surya (dalam Yeni Karneli,2000: 46) penerimaan terhadap klien berkaitan dengan pemahaman dan sangat mempengaruhi hubungan antar manusia yaitu hubungan antara konselor dengan klien. Menerima klien berkaitan dengan rasa hormat terhadap individu sebagai pribadi yang memiliki harga diri.
Sejalan dengan itu Taylor (dalam Yeni Karneli, 2000:46) mengidentifikasi ada dua komponen penerimaan, yaitu:
1.      Kemampuan meneria kebenaran bahwa individu berbeda satu sama  lain, demikian cara-cara dan perilaku yang ditampilkan.
2.      Perwujudan diri yang berlangsung dalam pengalaman, bahwa setiap orang memiliki pola yang kompleks dalam berbuat, berfikir dan merasa.
Penerimaan menggambarkan menerima individu sebagaimana adanya, dengan menghormati individu sebagai manusia yang memiliki martabat, akan membantu memperlancar hubungan konseling. Contoh; mengucapkan salam, berjabat tangan, mempersilahkan klien duduk, menyebut nama klien (kalau sudajh kenal, atau menanyakan nama klien (jika belum kenal), memperkenalkan nama konselor, membicarakan hal-hal yang menarik, yang sempat ditangkap dan pertemuan yang singkat itu dan sebagainya.
Cara konselor seperti ini akan menggambarkan penerimaan yang positif dari konselor, dan akan menimbulkan rasa diterima secara penuh pada diri klien.

B.     Jarak duduk dan cara duduk

Jarak duduk antara konselor dank lien, akan mempengaruhi situasi dan suasana dan konseling. Jarak duduk yang terlalu jauh akan memberikan kesan kurang akrab. Sedangkan jarak duduk yang terlalu dekat akan menjadikan klienmaupun konselor terasa tergangu yang akhirnya dapat menjadi salah tingkah.
Posisi duduk antara konselor dan klien haruslah berhadapan secara sejajar. Dalam penyelenggaraan konseling, jarak duduk yang sebaiknya adalah 80-100 cm, dengan tidak memakai pembatas atau meja. Tujuan jarak duduk yang demikian adalah agar konselor dapat dengan mudah menangkap isyarat yang ditampilkan klien, baik gerakan-gerakan atau isyarat non verbal, sehingga konselor dapat memberikan respon secara tepat, mulai dari awal konseling sampai berakhirnya konseling.
Jarak duduk seperti yang sudah diuraikan terdahulu kadang kala kurang menguntungkan, misalnya bila klien seorang wanita yang memakai pakaian yang merusak pandangan mata konselor. Jadi dapat disimpulkan bahwa jrak duduk tergantung pada situasi dan kondisi tertentu dan untuk situasi tertentu jarak duduk dapat dipertimbangkan. Terutama bila kondisi tersebut menggangu proses konseling.
Konselor yang duduk  seenaknya akan memberikan kesan santai, dan ini akan ditangkap oleh klien bahwa knselor kurang bersungguh-sungguh dan kurang menerima klien. Sikap duduk yang terlalu tegap juga akan memberikan kesan tertentu kepada klien, klien akan merasa dirinya sedang berhadapan dengan orang yang mengadili atau mengintropasinya.
Posisi duduk yang diharapkan adalah bberhadapan dengan klien. Bila konselor duduk disebuah kursi yang mempunyai sandaran, maka konselor jangan duduk bersandar, rileks, ataupun menhadapi klien dengan posisi yang sedikit miring.
W.S Winkel (dalam yani Karneli 2000: 56) menjelaskan sikap duduk yang diharapkan dalam wawancara konseling, yaitu:
1. duduk sedikit membungkuk kedepan
2. duduk tidak bersandar
3. tangan di atas paha
4. kedua kaki harus kebawah.
Sikap duduk yang demikian memberikan kesan bahwa konselor memiliki perhatian yang besar terhdap klien dan benar-benar siap memberikan bantuan.
Munro (1983: 42) konselor sebaiknya duduk berhadapan dengan klien dalam suasana bebas, santai dengan jarak cukup memadai untuk memugknkan klien dapat merasa senang. Tangan konselor hendaklah  tetap diam dan wajah hendaklah menunjukan suasana bersahabat. Duduk dengan membungkuk, mempermainkan sesuatu, mengerutkan dahi, atau terlalu banyak gerkan yang tidak perlu dapat membuat klien membingungkan.

C.    Kontak Mata

Kontak mata adalah pusat pandangan konselor yang tertuju pada sasaran yang tepat pada klien. Sasaran yang tepat adalah apabila pandangan konselor ditujukan pada sesuatu secara wajar, sehingga menimbulkan kesan bahwa konselor menaruh perhatian penuh pada klien.
Winkel 1991 (dalam Yeni karneli 2000: 57) menjelaskan bahwa kontak mata harus dapat menghindarkan kesan bahwa konselor memaksa, mengejar dan mempermalukan klien. Kontak mata yang memandang daerah pas photo klien secara wajar akan memberikan kesan bahwa konselor benar-benar memberikan kesempatan kepada klien untuk mengutarakan masalahnya dan klien merasa ia di terima apa adanya.
Munro (1983: 42) kontak mata yang baik adalah dengan cara melihat pada klien ketika dia sedang berbicara dan menggunakan pandangan mata yang menunjukan perhatian dan penerimaan konselor terhadap klien.


Sumber:

Munro, dkk. 1983. Penyuluhan (counseling). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Prayitno. 2012. Dasar dan Dinamika Hubungan konseling. Padang: UNP.

Yeni, karneli. 1999. Teknik dan Laboratorium Konseling 1.Padang: UNP.